Piyu Berakit-Rakit Ke Musik
MuMu 41/II, 6 - 12 Juli 2000

Satriyo Yudi Wahono atau lebih akrab dipanggil Piyu amat kesal ketika salah seorang kakaknya mengejeknya ketika ia sedang belajar gitar. Oleh kakaknya ia diejek tak akan mampu memainkan lagu Stairway To Heaven milik Led Zeppelin. "Sejak itu aku bertekad untuk bisa main gitar. Caranya ya dengan memindahkan nada-nada kibor ke gitar," ujar pria kelahiran Surabaya, 15 Juli 1973 ini.

Ia juga jadi rajin memperhatikan penampilan para gitaris di televisi dan menyimak permainan mereka di kaset. Sebetulnya cukup besar bakat musik yang dibawa Piyu, sebab di usia enam tahun ia sudah bisa mencipta sebuah lagu. Lagu dengan melodi khas anak-anak itu ia beri judul Tuyul.

Bisa jadi bakatnya ini diturunkan langsung oleh ibunya yang memang dekat dengan musik, apalagi Trisiwi Andari ini juga seorang guru kesenian. Di rumahnya juga tak henti mengalun musik dari tape atau radio. Kakak-kakaknya juga pendengar setia musik. Ditambah lagi Piyu sangat suka menyanyi. Saat itu ia sangat senang melantunkan lagu-lagunya Queen, padahal untuk anak seusianya tak mudah mencerna musik grup asal Inggris ini.

"Gue suka dengan lagu I Want To Break Free. Pokoknya satu album gue hapal semua," ujar penggemar berat Freddie Mercury, Jimi Hendrix dan David Bowie ini. Sejak kelas enam SD ia juga sudah terbiasa dengan suasana dan disiplin latihan, sebab ia sudah memiliki band.

Menginjak SMP ia memiliki hobi baru, mengoleksi kaset khusus musik rock di antaranya Queen dan Led Zeppelin. Menurutnya musik-musik itu masih melekat dalam ingatannya dan ia masih menyimpan rapi koleksi kaset-kaset tersebut.

Memasuki pergaulan SMA ia mulai rajin ngeband, saat itu memegang instrumen kibor dan banyak memainkan lagu-lagunya Rush. Namun karena sakit hati pada kakaknya ia beralih ke gitar.

Lalu bersama Ari Lasso dan Wawan Gunarso, ia membentuk Outsider yang kerap membawakan lagu-lagu Bon Jovi. Tapi karena tidak ada keseriusan band itu bubar. Piyu kemudian membentuk band, sedangkan Ari dan Wawan bergabung bersama Dhani, Erwin dan Andra membentuk Dewa 19.

Kemudian masa kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya ia habiskan untuk bermain musik thrash metal. Sejak itu ia bercita-cita untuk masuk rekaman. Karena sering banyak manggung dan rajin mengirim demo Crystal Band memperoleh angin segar dari AIRO untuk rekaman. "Tapi karena perusahaannya mau bangkrut kita pun gagal rekaman," cetus musisi yang merasa dipengaruhi Brian Eno dan Bob Dylan ini.
Tapi keinginan untuk rekaman tak pernah surut, meskipun pada akhirnya Crystal band bubar. Di tengah kekosongan ngeband ia mengaktifkan diri sebagai penyiar salah satu radio rock di Surabaya dan bekerja di Production House (PH). Karena PH tempat ia bekerja banyak menyelenggarakan acara musik, ia mulai mengenal beberapa musisi asal Jakarta, di antaranya Slank.

Setelah menyelesaikan KKN ia pun bertekad untuk merantau ke Jakarta, hanya dengan bekal sebuah gitar bolong. "Aku nekat datang ke Jakarta karena aku belum melakukan hal yang paling buruk di musik," ujar musisi yang hobi travelling dan membaca buku biografi ini. Sebab, menurutnya ia harus menjalani kehidupan musik dari bawah, mulai dari pekerja studio, kru hingga additional jika ingin sukses.

Di Jakarta ia menumpang pada seorang teman yang memiliki sebuah bengkel mobil. Mulailah ia menulis rencana studio mana saja yang akan ia singgahi. Hampir semua studio di Jakarta ia tongkrongi, mulai dari Musica, Triple M hingga kawasan Glodok. "Jadi pagi-pagi aku kerja di bengkel dan malamnya nongkrong di studio," kata anak bontot dari lima bersaudara ini.

Nongkrong di studio ternyata membuahkan hasil, akhirnya ia bisa dekat dengan seorang musisi. Musisi pertama yang dekat dengannya adalah Aldrin, basis kelompok Sket. Karena banyak waktu luang ia pun memanfaatkannya untuk membentuk band dan membuat lagu. Namun karena tidak ada keseriusan band itu pun bubar.

Pusing mencari pemain band yang sehati, ia lantas beralih jadi petugas cleaning service di Hero Supermarket. "Pokoknya Hero di mana saja aku singgahi. Aku tugasnya malam dan pulang jam lima pagi," ujarnya. Di tengah kesibukannya bersih-bersih toko timbul kesadaran dalam dirinya. Ia merasa selama setahun di Jakarta tak ada kemajuan. Dengan tekad bulat ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya dan meneruskan kuliah.

Keberadaannya di Surabaya membuatnya bertemu kembali dengan Ari yang dikenalnya dalam acara musik. Karena obrolan soal gitar yang nyambung, mereka pun sepakat berkolaborasi membuat lagu. Pertemuannya dengan Ari membuat keinginan untuk rekaman timbul kembali. Dengan bantuan Rindra, Piyu dan Ari membuat demo rekaman.

Tanpa mengenal lelah Piyu lantas menawarkan demo tersebut pada beberapa perusahaan rekaman di Jakarta. Karena tak jua ada tanggapan ia kembali ke Surabaya. Sejak itu desakan untuk membentuk band lengkap semakin kuat, akhirnya dicarilah vokalis dan drummer. Bertemulah ketiganya dengan Fadly dan Yoyo. "Karena obrolan kita selalu nyambung, latihannya makin serius. Pokoknya ada sesuatu yang membuat aku yakin akan band ini," katanya.

Di tengah proses menggarap demo, Piyu mendapat tawaran dari teman sekolahnya Andra Ramadhan, yang saat itu namanya sedang berkibar bersama Dewa 19. Selama delapan bulan ia menjadi kru dan kemudian diangkat menjadi additional selama tiga bulan. "Setelah aku menjadi additional rasanya hidupku mulai lengkap, karena aku memulainya dari bawah," tuturnya.

Selama berada di lingkungan Dewa 19, Piyu tak lelah untuk menawarkan demo lagu-lagu Padi. Penawaran itu jatuh di tangan Sony Music, meski hanya berkesempatan membawakan satu lagu di album Indie Ten dengan singel Sobat, Padi merasa senang karena yakin akan terbuka jalan menuju rekaman. Setahun kemudian Padi rekaman album Lain Dunia.

Tanpa diduga album yang menampilkan sepuluh lagu ini memperoleh angka penjualan sebanyak 350 ribu dan berhak memperoleh penghargaan double platinum dari Sony Music. Seiring dengan itu Padi pun banyak diminta untuk tampil, baik di konser besar, kafé atau kampus. "Aku bersyukur banget dengan hasil ini," katanya yang sempat jadi reporter sebuah majalah remaja pria untuk mewawancarai Paul Gilbert di Surabaya.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Piyu, ikuti obrolannya dengan Renny Mayasari dari MuMu, sebelum penampilan Padi sebagai band pembuka Save Ferris. Berikut petikannya :

Apa pelajaran yang kamu ambil saat menjadi additional Dewa 19?
Selain bisa mempelajari manajemen tur, aku juga bisa melihat formula untuk membuat lagu dan aransemen. Bukan bagaimana caranya membuat lagu, tapi bagaimana memudahkan dan memancing ide membuat aransemen. Memancingnya itu lewat referensi musik yang bagus. Referensi musik anak-anak Dewa 19 memang bagus, jadi aku nggak rugi dekat dengan mereka. Mereka juga ternyata bagian referensi yang tidak pernah aku pikirkan. Sebab referensi itu bukan yang kita idolakan, tapi sesuatu yang menarik untuk dilihat dari satu aransemen atau melodi lagu.

Lantas kamu terpengaruh oleh mereka?
Nggak, tapi mungkin saja ada. Namun karena di Padi ada lima kepala jadi nggak mungkin musik kita terpengaruh Dewa 19. Misalkan pada lagu Sobat. Kalau aku sendiri yang mengaransemen mungkin jadinya nggak akan seperti itu. Bisa jadi nggak enak hasilnya.

Lalu bagaimana kamu menciptakan lagu?
Yang biasa kita lakukan dan paling utama adalah menentukan tema dan melodi lagu. Setelah itu baru kita temukan idenya dengan personil lain.

Apakah dalam mencipta masih menentukan liriknya terlebih dahulu?
Sebenarnya bukan lirik, tapi tema. Misalkan saja aku dan Fadly yang selalu terlibat pembicaraan yang serius. Lantas aku mencetuskan satu tema, lalu aku tanya sama Fadly kira-kira dia merasakan tema itu nggak. Jadi nggak asal kita menentukan satu tema. Semua anggota Padi harus merasakan ide yang dikeluarkan, setelah itu baru bisa dilanjuutkan menjadi sebuah lagu. Dengan adanya tema itu kita lebih cepat merasakan dan cepat pula membuatnya.

Sebenarnya musik Padi itu akan diarahkan ke mana sih?
Untuk musik sih kita bebas aja, yang universal. Bisa jadi semua musik mempengaruhi kita, hanyak saja yang kita inginkan lebih soulful agar orang bisa merasakan jiwa dari lagu tersebut. Untuk mendapatkan soul itu saja kita mengangkat satu nuansa, makanya kita banyak memasukkan nuansa bunyi-bunyian atau nada-nada yang kalau orang dengar bisa langsung kena di hati. Makanya orang suka bilang musik kita musik nuansa. Menurutku itu yang paling utama di Padi, kita tak lagi memikirkan musiknya harus rock, pop atau apalah. Yang penting harus soulful.

Sebenarnya apa sih obsesi dari Padi?
Sederhana saja kita ingin panjang umur dan musik kita bisa terus didengar, terutama untuk generasi di bawah kita. Sedangkan aku pribadi ingin terus mengembangkan kemampuan gitarku dan aku ingin sekali bisa belajar musik lagi secara formal, terutama soal komposisi. Maksudnya sih biar ngirit juga, kalau bisa bikin komposisi kan kita tidak lagi perlu memakai musisi lain. Tapi belajarnya hanya di seputar Jakarta, soalnya jadwal show Padi kan cukup banyak jadi aku nggak mungkin kalau sekolah ke luar misalnya. Ya itupun kalau waktunya ada. Kalau nggak ada paling aku banyak bertanya dengan musisi yang memang jago di bidangnya.

Saat Paul Gilbert datang ke Indonesia kamu sempat bertemu ya malah kamu jadi reporter tamu?
Iya tuh. Wah aku senang sekali, karena ini pengalaman baru lagi buat aku. Soalnya aku orang yang selalu ingin tahu. Ya aku layaknya seperti reporter, menyiapkan materi yang akan ditanyakan dan siap dengan handycam di tangan. Akku beruntung mendapatkan kesempatan ini, karena aku banyak bisa bertanya soal gitar, terutama masalah teknis. Fun banget deh saat wawancara dia, karena kepribadiannya pas dengan aku. Dulu aku kan sempat mengidolakannya lho.

Dari sekitar 100 kali pentas apa yang paling banyak direspon penonton?
Wah banyak, aku sangat senang dengan apresiasi masyarakat yang semakin bagus. Apalagi musik Padi kan tidak mudah dimengerti. Musik kita harus dicerna terlebih dahulu atau 2-3 kali didengar baru bisa dimengerti maksudnya. Apalagi lagu Begitu Indah, tapi dengan lantang penonton mengikuti setiap bait lagu yang dilantunkan Fadly. Wah, aku bangga banget. Melihat semua itu aku jadi yakin sekali musik kita nantinya akan sejajar dengan negara-negara lain.

Tapi ada nggak pelajaran atau masukan yang kamu berikan pada para penggemar?
Ya caranya dengan membuat musik yang serius. Misalkan saja lewat lagu Begitu Indah, di lagu itu ada aransemen yang kompleks dan rumit. Bukan setelah intro lalu masuk aransemen, melodi terus masuk melodi gitar kemudian selesai. Tidak seperti itu. Ternyata dari satu lagu bisa sangat dikembangkan, bahkan bisa jadi satu lagu dibuat tidak ada habisnya. Tapi itu kalau otak kita bisa terus diajak berkreasi. Hal seperti ini bisa kita ajarkan pada orang lain, bahwa kita mengaransemen lagu dengan sungguh-sungguh, orang akan bisa menikmati musik kita. Sebab masyarakat akan semakin kritis. 

Sepengetahuan kamu, setelah kesuksesan Padi dan Sheila On 7, adakah keyakinan band daerah bisa maju seperti kalian?
Ada, bahkan mereka banyak bertanya bagaimana membuat demo. Aku sih senang-senang saja melakukan apa yang aku bisa. Pada mereka aku selalu menekankan untuk membuat musik yang serius dan sungguh-sungguh. Dan yang paling penting jangan lupa juga mengerjakannya dengan hati. Sebab jika hanya sekedar ingin ngetop mendingan nggak usah. Lagipula segala sesuatu yang dikerjakan dengan hati hasilnya akan baik dan kita pun merasa puas. Aku juga kan sejak kecil sudah terbiasa mendengar musik dan bukan ketenaran yang dicari. Pada dasarnya aku suka musik dan mencintai musik.