PADI : Dari Band Kampus ke Tangga Selebritis
(NewsMusik, no. 10/I, 11 Agustus-1 September 2000)
Lagi, band Surabaya unjuk gigi. Namanya unik, singkat tapi penuh makna. Dialah
Padi. Ini adalah filosofi: 'kian berisi kian merunduk'. Album perdananya –
Lain Dunia – cepat merebut sertifikat Double Platinum. Jadwal turnya sudah lebih dari seratus kali. Wah!
Meski keluar pertama kali hanya dengan melempar single bertajuk 'Sobat' dan hanya bagian dari album kompilasi Indie 10, rupanya Padi langsung menuai keberuntungan. Tembang itu langsung jadi hit di tangga-tanggal lagu Indonesia, baik lewat tv maupun radio (Errata : waktu itu cuma lewat radio, coz nggak ada klip untuk lagu 'Sobat'). Di bawah bendera label internasional, Sony Music, Padi pun langsung diboyong lagi untuk rekaman album penuh. Jadilah album Lain Dunia, yang sampai kini menurut Fadly laku terjual 350 ribu copies. Hebat bukan?
Padi dibangun di Surabaya pada 8 April 1997. Bermula dari pertemuan Ari Tri Sosianto dengan Andi Fadly Arifuddin yang satu jurusan di Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ari kemudian merekrut bassist Rindra. Hasilnya trio pemuda itu membentuk band bernama Warna (Errata : Fadly belum ikut gabung waktu itu). Nggak lama kemudian, Ari keluar, langsung ketemu gitaris Satrio Yudi Wahono alias Piyu di Jakarta.
Dari sini mereka punya komitmen bikin band untuk rekaman. “Dia (Piyu) sudah serius untuk bikin band rekaman dan waktu itu nggak ketemu orang di Surabaya, ya sudah ke Jakarta aja deh. Ternyata di Jakarta juga gagal, terus pulang lagi aku ketemu sama Rindra. Kebetulan kok cocok, ya sudah gabung lagi. Padahal Fadly sendiri juga sudah punya band kafé, namanya MR.Q,” cerita Ari pada NewsMusik di Hotel Puri Gardenia Bandung. Tekad sudah bulat, akhirnya mereka mencari drummer. Ketemulah Surendro Prasetyo alias Yoyo.
Akhirnya mereka berempat – Ari, Piyu, Rindra dan Fadly – sepakat bikin band. Nggak langsung pakai nama Padi tapi Soda. Dari sini mereka merancang konsep, mempersiapkan materi, mulai dari materi lagu, lirik hingga aransemen musiknya, bahkan sempat jadi demo. “Jadi kita ketemu dan sudah bikin lagu dan demo juga. Terus dari Jakarta waktu itu Lilo (personil Kla Project) yang menawarkan, ya sudah bawa sini saja demonya, terus namanya apa, ya sudah kita asal-asalan aja, akhirnya ya pakai nama Soda itu,” kisah Ari.
Nah, barulah setelah ketemu Surendro Prasetyo alias Yoyo’, mantan drummer band Andromeda yang juga sekampus di Unair, tercetuslah nama Padi. Jadi boleh dibilang, pilihan nama Padi bermula dari gagasan Yoyo’. Penentuan nama itu sendiri sebetulnya berlangsung simpel saja. “Ada filosofinya, biar orang bisa ingat, kan setiap hari orang makan nasi, kalau kelaparan orang pasti akan ingat padi,” alasan Yoyo’.
Ari pun membenarkan bahwa yang mengusulkan nama Padi adalah drummer andal itu. “Memang yang kasih nama Padi itu Yoyo’,” aku pria kelahiran 25 September 1975 (Errata : its should be 11 September 1974) yang sampai kini masih kuliah di Unair. Tapi, Ari sendiri sebetulnya sempat menganggap nama itu aneh. “Pertama dengarnya aneh, tapi lama-lama asyik juga, namanya Indonesia, sudah gitu gampang diinget dan simpel. Ya sudah ngomong sama anak-anak akhirnya setuju kalau pakai nama Padi. Kita juga ambil filosofinya, semakin berisi semakin merunduk, kepinginnya sih kita seperti itu.”
Lain lagi cerita Piyu. Lelaki kelahiran Surabaya 15 Juli 1973 ini mengaku, pada waktu itu ia telah mengusulkan sejumlah nama. Tapi, dia sendiri heran nggak ada yang pas. “Aku sudah siapin nama banyak, eh nggak ketemu-ketemu. Pada waktu itu aku sudah tawarin demo di Jakarta, tapi nggak nemu-nemu juga. Waktu itu Ari telepon, eh diusulin sama Yoyo’ nama Padi itu, kamu dengerin deh. Pertama-tama memang nggak asyik, tapi lama-lama asyik juga tuh. Akhirnya, ya udah, kayaknya asyik juga tuh,” ujar Sarjana Ekonomi lulusan Unair yang kabarnya setiap show selalu membawa pacarnya itu.
Tapi, pemakaian nama Padi bukan tanpa kendala psikologis. “Kita sempat dicerca orang, Mas. Kok, namanya aneh sih. Bahkan, ada satu perusahaan yang bilang, ini nama grupnya apa? Kita bilang, ya Padi. Wah, ini makanan orang susah. Hampir setahun, sempat putus asa juga, kok nggak ada yang berminat, bahkan dulu pernah berniat untuk memproduksi sendiri, kebetulan kita punya temen yang mau kasih modal, kita bikin master dulu, akhirnya ketemu Sony, terus kita diaudisi,” cerita Ari sambil tertawa.
Setahun Menggodok Konsep
Sebelum materi rekaman mereka kemudian digodok di Sony Music, rupanya segala persiapan sudah dirancang sejak jauh-jauh hari. “Pembentukan personilnya sendiri kita butuh waktu setahun,” ungkap Ari. Selain masalah nama, soal lain adalah soal aliran alias basic musik yang bakal mereka jual kelak. “Boleh jadi, teman-teman sudah mengadakan brain storming justru sebelum Padi terbentuk,”tambah Ari.
“Kita membiarkan semuanya mengalir apa adanya. Jadi nggak pernah kita omongin, nanti kita buat musik seperti ini, nggak. Mengalir aja. Masing-masing punya ide. Ya itu yang kayaknya menjadi andalan kita, warna tersendiri. Mungkin karena basic kita rock ya kayak U2, jadi lagunya itu bisa kadang-kadang ngepop, kadang-kadang ngerock seperti lagu Seperti Kekasihku,”ucap Ari, pengagum Brian May dan Iwan Fals yang arek Suroboyo tapi dilahirkan di Bogor, 11 September 1974 ini.
Berbeda dengan Ari, cerita Yoyo’ lain lagi. Drummer paling berpengalaman memperkuat grup band ini mengaku ’diracuni’ oleh kawan-kawan Padisebelum membuat konsep baku musik Padi kayak apa. ”Ya, waktu itu saya diracuni teman-teman,lo. Begitu kenal Ari, dia bawa kaset U2. Si Rindra yang kebetulan tinggal di rumahku juga nyekokin U2. Berhubung setiap hari denger U2, akhirnya kan satu pikiran, satu alam juga. Cuma, pada dasarnya kita nggak dibatasin, kita harus main seperti ini, nggak seperti gitu. Kita mainnya bebas aja,” papar arek Surabaya, 29 November 1975, yang sebelumnya mengaku kerap membawakan lagu-lagu dari Counting Crows, Pearl Jam, The Police sampai Iwan Fals.
Sedang Piyu, gitaris, punya cerita tersendiri soal basic musik Padi. Dia mengaku lebih banyak menerima masukan saja. Artinya, Piyu lebih suka mengikuti irama pemikiran teman-temannya saja. Jika diruntun sejak awal, ungkap pengagum Brian Eno, David Bowie dan Sting, semua personil sudah satu visi. Tapi bukan berarti Piyu tidak punya andil apa-apa. Selain menerima, dia juga kerap memberi argumentasi.
“Jadi kayak kita mau bangun rumah, itu benar-benar kita pikirin kayak blue print-nya, denahnya, lokasinya. Yang jelas, kayaknya kita cocok aja ngelakuin musik seperti ini. Jadinya, musik kita itu akan begini-begini. Kita tetap nggak pungkirin kita masuk dalam musik pop, dalam artian popular. Tapi, soal orang menilai jadinya musik kita kayak gini, orang lain yang bisa menilai. Kita sendiri nggak sadar main seperti begitu, kita main lepas aja. Itu maunya kita, jadi biarlah orang lain yang menilai,” papar Piyu.
Band Kampus yang Menasional
Julukan sebagai band kampus, kerap terpatri pada Padi. Sahkah klaim publik yang dialamatkan ke mereka? Yang terang, band ini memang besar dari menjelajahi panggung kampus demi kampus, dari universitas gurem hingga yang elitis, dari ujung Timur hingga Barat Indonesia. Bukti paling konkret yang paling gres adalah konser di Bandung dan Jakarta, tanggal 14 dan 16 Juli 2000 lalu. Dua-duanya yang menyelenggarakan mahasiswa, atas nama civitas akademika pula.
“Kita memang sering diundang sama kampus, tapi nggak semua, yang umum komersial lebih banyak,” ungkap Sen-Sen, Road Manager Padi. Tapi jengahkah mereka dengan ‘pembaptisan’ itu? “Ah, nggak juga. Memang kita berawal dari band kampus. Jadi, ya sudah, mau diapain lagi,” kilah Ari mengangkat bahunya. Pasrah?
“Bukan begitu. Musik itu kan universal. Mau kampus kek, semua, nggak masalah buat kita. Yang jelas, segmentasi musik kita nggak cuma terpatok pada kalangan kampus saja,” cetus Ari diplomatis. “Yang jelas musik yang kita jual untuk umum. Nggak ada pemikiran sebelumnya yang bilang lagu-lagu kita hanya untuk mahasiswa,” timpal Yoyo’.
Apapun klaim orang, Padi nampaknya nggak peduli. Tapi, Fadly sadar bahwa klaim-klaim kayak begitu bisa juga membawa dampak. “Kita jadi terkooptasi oleh julukan itu sehingga masyarakat lain kurang bisa menerima musik Padi,” katanya.
Bagaimanapun, Padi sudah menjadi aset nasional, bukan cuma milik komunitas kampus tok. Seperti yang dikatakan Fadly,”Kaset kita cukup laris, 350 ribu copies sudah habis terjual,” ungkapnya. Jadi, boleh jadi, Padi adalah satu dari sekian ratus band kampus atau sekolah yang mampu menembus blantika musik Indonesia secara luas.
Yang gila, jadwal show mereka, baik yang lalu maupun mendatang, begitu padat. NewsMusik pun sempat diberitahu draft agenda show mereka. Bulan lalu saja, mereka harus main dua hari sekali, bahkan ada yang berjarak satu hari saja. “Ini sudah jadwal tekan (selektif), Mas. Kalau kita turutin, wah sehari bisa dua sampai tiga kali main. Nanti di Kafe Gondola (Juli), pentas kita yang ke 100 kalinya,” ungkap Didit, salah seorang pengurus manajemen Padi di bawah bendera Sativa Management pimpinan Irwan Sabar yang bermarkas di kawasan elite Pondok Indah Jakarta.
Dari Cinta ke Potret Sosial
Baru setahun perjalanan karir musik, berawal dari satu single, berumur setahun pula (Errata : it should be 3 tahun), Padi sudah menampakkan kecemerlangannya. Beberapa tembang manis berbalut musik keras dan progresif, pelan tapi pasti mulai mampu merebut perhatian publik. Simak saja tembang hit single mereka 'Sobat' yang masuk dalam tangga lagu, baik tv maupun radio (Errata: hanya di radio), pun mulai digilai remaja. Hanya lewat satu lagu ini, Padi pernah memiliki frekuensi show tinggi sekali sepanjang tahun 1999.
Belum pudar popularitas 'Sobat', album Lain Dunia yang dilepas mereka di akhir penghujung tahun lalu, tiba-tiba meledak lagi. Beberapa tembang seperti 'Sudahlah', 'Seperti Kekasihku', 'Mahadewi', 'Bidadari', 'Beri Aku Arti' agaknya telah mendapat tempat yang layak di hati publik. Di samping 'Sobat' yang memang akrab di telinga, bertambah lengkap pula ketenaran Padi lewat lagu yang jadi hits, 'Begitu Indah'. Tapi kenapa tema lirik yang mereka bidik berkisar masalah cinta?
“Tema itu khan universal yang selalu kita hadapi kenyataannya sehari-hari,” kilah gitaris Padi, Piyu. Namun, yang musti digarisbawahi, sambung lelaki penggemar baca dan jalan-jalan ini, tema cinta yang dominan dibidik anak-anak Padi bukan cinta yang terkesan mendayu-dayu atawa memelas. “Cinta yang kita maksud itu cinta yang lebih dewasa.”
Tema pop macam begitu, sela Fadly, bukan tanpa perhitungan. Dalam konsep musik band, kesamaan persepsi adalah segalanya. “Jadi, kebetulan anak-anak bikin lagu model begitu cocok dengan karakter vokal saya. Buat apa bikin lagu tapi nggak cocok dengan karakter dan warna vokalisnya?” cetus vokalis berambut cepak itu, dalam nada tanya.
Dan Piyu pun menolak keras bila lagu-lagu cinta itu hanya sekedar menyiasati pasar. “Nggak ada itu. Kita nggak pernah mikirin pasar. Kita bikin lagu, bikin musik, ya mengalir begitu aja, nggak ada pemikiran komersial begitu. Soal cinta, semua orang kan mengalami hal yang sama. Itu juga kita bikin atas dasar pengalaman pribadi kita sendiri dan orang-orang dekat di lingkungan kita sendiri,” tangkisnya.
Meski pun begitu, baik Piyu, Fadly maupun Yoyo’ juga mengakui bahwa mereka baru tahap belajar, khususnya dalam mencipta lagu. “Ya, kita belajar dari –album- pertama. Dari sana kita dapat merenung, mengevaluasi dan menilai, apa kita akan terus menyanyikan lagu-lagu dengan tema seperti itu atau bisa juga berubah,” ujar Yoyo’.
Nah, ajang uji coba berikutnya adalah di album kedua. Kabarnya, bulan September 2000 mereka sudah harus konsentrasi studio. “Mungkin di album kedua nanti kita akan coba memasukkan lagu dengan tema yang lebih umum dan global. Karena saya sendiri suka banget sama lagu-lagunya Iwan Fals, jadi bisa saja kita mencoba bikin lagu model kayak begitu. Tapi untuk menuangkan liriknya kita harus observasi lapangan, misalnya kayak Iwan, kan dia tahu betul apa yang dialaminya,” janji Piyu. Oke deh, selalulah memakai ilmu Padi.
(Hakim Moestaff)